Semua Naik Pinisi

Perahu Pinisi yang terkenal di dunia. Kapal layar tradisional ini telah mengarungi perairan wilayah ini selama berabad-abad, dan merupakan bukti kecerdikan dan keahlian orang-orang yang membangunnya.

Sungguh menggembirakan melihat perahu-perahu indah dan unik ini masih dibangun dan digunakan hingga saat ini. Tidak hanya berfungsi sebagai pengingat akan kekayaan sejarah Sulawesi Selatan, namun juga merupakan bukti kekuatan tradisi dan semangat kemanusiaan yang abadi.

pinisi

Dalam dunia kapal pesiar dan kapal pesiar, sangat menggembirakan mengetahui beberapa hal tradisional kapal layar masih mengarungi lautan lepas. Baik Anda seorang pelaut kawakan atau sekadar pecinta sejarah dan budaya, perjalanan menaiki perahu Pinisi adalah pengalaman yang tidak akan pernah Anda lupakan.

Perahu kayu Pinisi adalah salah satunya — simbol kuat bahari masa lalu suku Bugis.

Keturunan pembuat Pinisi tinggal di desa pesisir Tana Beru di Kabupaten Bulukumba (176km dari Kota Makassar). Bulukumba merupakan tempat pembuatan perahu pusatnya di Sulawesi dan meliputi wilayah Lemo-Lemo, Bara, Tanjung Bira, dan Tana Beru. 

Di pasar perahu Tana Beru, barisan Pinisi disangga pada perancah bambu yang sangat besar ukuran (walaupun ketinggian normalnya sekitar 2 meter di sini, satu perahu khusus dapat masuk 5,3m), dan sungguh menakjubkan untuk dilihat. Terlebih lagi ketika Anda bisa melihat mereka di tempatnya: di air.

Sekilas tentang masa lalu ketika suku Bugis mengarungi lautan lepas (dan ada yang bilang ditakuti sebagai bajak laut). 

Meski tidak disebutkan namanya, sebuah kapal layar mengapung melintasi halaman La Galigo, the Sastra kuno Bugis, sebagai transportasi Sawerigading, Pangeran Kerajaan Luwu, as dia bepergian ke Cina. Dia kembali ke rumah dengan seorang pengantin wanita, tetapi badai besar membalikkan perahunya, dan puing-puingnya tersapu ke lepas pantai desa Ara, Tana Lemo, dan Bira; dari yang dibangun oleh masyarakat yang sekarang disebut Pinisi. 

Ritual Pembuatan Pinisi

perahu pinisi sedang dibuat

Menariknya, ritual pembuatan Pinisi masih dilaksanakan hingga saat ini, seperti persembahan manis untuk keberuntungan dan darah ayam putih untuk mencegah kecelakaan.

Jenis kayu yang digunakan untuk Pinisi

Perahu Pinisi benar-benar sebuah karya seni, dengan desain rumit dan perhatian terhadap detail. Namun yang membedakannya adalah bahan unik yang digunakan dalam konstruksinya. Kayu yang digunakan untuk membuat perahu Pinisi merupakan kombinasi dari dua jenis pohon asli Indonesia: “bitti” dan “ulin” (kayu ulin Kalimantan).

Bitti merupakan kayu yang kuat dan tahan lama serta tahan terhadap pembusukan, sehingga cocok untuk digunakan dalam pembuatan kapal. Ulin, juga dikenal sebagai kayu ulin kalimantan, adalah kayu yang sangat padat dan berat yang dihargai karena kekuatan dan ketahanannya terhadap pembusukan.

Perpaduan kedua jenis kayu ini menghasilkan sebuah kapal yang tidak hanya cantik dipandang, namun juga kuat dan tahan lama menahan kerasnya kehidupan di laut.

Namun mereka tidak menebang pohon pada hari-hari tertentu: harus pada hari-hari tersebut tanggal 5 atau 7 setiap bulannya. Kedua angka tersebut melambangkan keberuntungan atau nasib baik.

Yang menakjubkan dari pembuatan Pinisi adalah tidak adanya cetak biru desain.

Itu pengrajin di pasar perahu Tana Beru tentu saja tidak melakukannya; itu adalah kerajinan warisan yang mereka peroleh dari para pendahulu mereka yang membuat perahu. Inilah sebabnya mengapa biaya pembuatan perahu ini bisa mahal sangat mahal (dan sangat lama karena pembuatan dan kesempurnaannya membutuhkan waktu dua tahun). 

Pada tahun 2017, Pinisi diakui oleh UNESCO sebagai salah satu Warisan Budaya Tak Benda Kemodernan. Dan memang merupakan warisan budaya yang untungnya masih dilestarikan hingga saat ini. Modernisasi, bagaimanapun, telah menyebabkan beberapa modifikasi pada perahu.

Di masa lalu, memang demikian sebuah kapal bertenaga angin, dengan tujuh layar pada dua tiang yang kemudian digulirkan seperti tirai pada tiang berdiri. Namun saat ini, sebagian besar Pinisi ditenagai oleh mesin, khususnya yang digunakan untuk keperluan pariwisata. 

Namun sungguh menyenangkan membayangkan masa ketika perahu-perahu megah ini menguasai lautan, adan di beberapa sudut laut terpencil Sulawesi, mungkin masih begitu. 

Daftar isi

WISATAWAN YANG PERHATIAN
Instant Karma #14 The Mindful Traveler Magazine Cover Majalah Indonesia instant karma bali edisi sulawesi print cover
Instant Karma #14
Januari – Februari 2023

Sedang tren

denpasar-exploring-the-heart-of-bali's-capital-city

Denpasar - Menjelajahi Ibu Kota Bali

permainan leela kehidupan

Permainan Leela

artikel budaya orang sasak lombok majalah karma instan mundful travel traveler indonesia

Sasak Culture Lombok

anjing kintamani bali

Anjing Bali - Ras Kuno & Sahabat Manusia

Read more Culture articles
#22

Ayurveda – Pengetahuan Kuno Transformatif

Candi Prambanan – Melewati Waktu dan Legenda

Keajaiban Gua Batu

Ubud Food Festival 2024: Bawa ke Jalanan

id_IDBahasa Indonesia