Seperti yang diingat oleh para pelancong masa kini, Bandung adalah kota yang mencari perlindungan dari panasnya Jakarta—baik secara harfiah maupun metaforis. Udaranya sejuk (dikelilingi pegunungan), rindang dengan pepohonan, agak kuno dengan beberapa bangunan tua kolonial yang masih berdiri, dan cocok untuk belanja hemat.
Yang terakhir ini diwakili oleh Jalan Cihampelas yang terkenal, atau Jalan Denim, di mana deretan toko menarik dengan dekorasi agak koboi yang menjual jeans murah namun berkualitas dipajang. Tentu saja, mereka juga menjual barang lain; cukup masuk ke berbagai factory outlet untuk menemukan segala jenis streetwear yang Anda butuhkan.
Saat ini, sulit membayangkan ada sisi yang lebih romantis dari ibu kota Jawa Barat ini. Fasad romantis yang mendapat julukan masa lalu: Parijs Van Java.
Parijs Van Java – Bandung
Pada masa itu, Bandung adalah kota yang modis, dan bahkan ada yang berpendapat sampai saat ini hingga sekarang. Sebagai rumah bagi masyarakat Sunda, Bandung pada awalnya dirancang sebagai pusat pemukiman bagi pemilik perkebunan Belanda; sebuah prototipe “kota kolonial” yang dibuktikan dengan bangunan bergaya art deco dan taman bunga.
Untuk mendongkrak pengunjung, para perencana kota kemudian memulai perombakan kota agar menyerupai kota Eropa. Apalagi di jalan Braga, tempat para sosialita fashion-forward datang untuk berbelanja di berbagai toko fashion kelas atas yang tersedia.
Dari satu toko, toko lainnya mengikuti. Ini semacam proses gentrifikasi…
Julukan Parijs Van Java sempat disebut-sebut pada Kongres Internationaux d'Architecture Modern yang digelar di Chateau de la Sarraz di Swiss pada bulan Juni 1928. Meski menurut buku Sejarah Bandung: Dari Bergdessa (desa yang tenang) hingga Bandung, Arsiteknya, Hendrik Petrus Berlage, bapak seni modern di Belanda, yang pertama kali menyebut nama tersebut, meski diduga tidak dengan rasa cinta karena diwarnai dengan sinisme karena ia memandang arsitektur kota ini dikembangkan tanpa adanya pengaruh lokal.
Tapi sejak awal 19th abad, Bandung berkembang pesat. Itu adalah tujuan liburan populer yang dibagi menjadi perjalanan ke pusat kota dan pusat kota. Di pusat kota terdapat jalan-jalan Braga yang apik dan modis di samping Dago dan Cihampelas; sedangkan pusat kota mengarah ke kawasan Lembang yang lebih sejuk dan lebih tinggi lagi Anda akan mencapai gunung Tangkuban Perahu, mungkin gunung paling populer di Bandung. Nama ini diambil dari bentuk perahu yang terbalik dan latar belakangnya terkait dengan cerita rakyat Sunda Sangkuriang.
Lautan Api
Popularitasnya semakin meningkat sehingga ada pembicaraan tentang pemindahan ibu kota dari Batavia (atau Jakarta) ke Bandung. Sayangnya, hal ini tidak terjadi karena saat itu perjuangan kemerdekaan sedang berlangsung dan Bandung adalah salah satu benteng terakhir para pejuang lokal.
Setelah menyadari bahwa mereka kalah jumlah dengan pasukan sekutu, yang di sini diwakili oleh Inggris yang datang setelah runtuhnya pendudukan Jepang, pada tahun 1946 para pejuang lokal memutuskan untuk membakar bagian selatan Bandung (bagian utara sudah direbut pada saat itu) untuk mencegah serangan mereka. mendapatkan kendali atas wilayah tersebut. Demikianlah momen terkenal dalam sejarah itu disebut Bandung Lautan Api, atau Bandung Lautan Api yang semakin diabadikan dengan lagu berjudul sama karya komposer kenamaan Indonesia, Ismail Marzuki.
Keren Secara Kreatif
Dengan tidak adanya penjajahan, kota Bandung masih berkembang. Seperti kota-kota lain, lalu lintas merupakan masalah yang semakin meningkat karena jalan-jalan kota ini pendek dan agak bersilangan. Baru-baru ini kereta peluru bernama Swoosh diluncurkan dan akan membawa Anda dari Jakarta ke Bandung hanya dalam waktu tiga puluh menit.
Namun sebagian pesonanya tetap ada. Bandung masih bisa dianggap sebagai episentrum Jawa Barat; Ini adalah “ibu kota” Parahyangan, nama umum yang diberikan untuk daerah pegunungan di Jawa Barat tempat tinggal orang Sunda yang merupakan penduduk provinsi tersebut, yang meliputi Cianjur, Sukabumi, Sumedang, Purwakarta, Garut, dan Tasikmalaya. Secara etimologi Parahyangan sendiri berarti “tempat tinggal para hyang” atau rumah para dewa.
Jalan denim masih ada bagi Anda untuk menelusuri berbagai koleksi denim mereka, begitu pula dengan banyaknya factory outlet milik lokal, diselingi dengan kafe dan kedai kopi ala kadarnya yang membentang hingga ke dataran tinggi Lembang.
Jalan Braga
Jalan Braga kini kembali bertransformasi. Dari jalanan yang modis hingga jalanan yang penuh seni: di awal tahun 2000-an, melihat betapa sepinya jalanan, seorang pelukis lokal, Abah Ropih Amantubilah, mempunyai pandangan jauh ke depan untuk mengubahnya menjadi sebuah jalan yang ramah seniman dimana sesama pelukis dapat memamerkan karya seni mereka di samping. dari jalan. Akhirnya Bang Ropih, begitu ia disapa, membangun galerinya di jalan bernama Rumah Seni Ropih.
Kami berbincang singkat dengan cucu mendiang seniman, Rizkan Gumilang Sutaryat, yang juga tertular penyakit seni tersebut. Selain sebagai pelukis dan pematung, ia juga memimpin pengelolaan galeri seni.
Boleh diceritakan alasan Bang Ropih memutuskan mengubah Jalan Braga?
Pada tahun 2000an, Bang Ropih mulai menjual karyanya di Braga. Saat itu jalanan agak sepi dan banyak toko yang tutup. Jadi dia pindah ke salah satu toko yang tutup dan memasang lukisannya. Kemudian dilanjutkan dengan mengadakan pameran jalanan dan semacam workshop melukis di jalan. Maka dari situlah dia mulai menciptakan heboh baru di Braga.
Bagaimana dia memulai sebagai seorang seniman?
Beliau sebenarnya adalah seorang guru dulu, mengajar di SMP dan SMA. Kemudian dia pulang dan mulai melukis sebagai hobi. Ia kerap menghadiri berbagai acara seni dan budaya yang juga ia ikuti dengan memamerkan lukisannya.
Bagaimana tanggapan awal terhadap perubahan di Braga dan apakah ada dukungan dari pemerintah setempat?
Tahun-tahun berikutnya penjualan meningkat dan lambat laun toko-toko mulai dibuka kembali karena banyak orang dari luar kota yang berdatangan. Pemerintah mendukung; mereka memperbolehkan para seniman untuk menjual lukisannya di jalan, padahal sebelumnya mereka tidak pernah memberikan izin tersebut dan sering melakukan penggerebekan.
Lalu bagaimana proses pemikiran di balik pembukaan galeri seni miliknya, Rumah Seni Ropih?
Rumah Seni Ropih dibuka pada tahun 2011, dan sebelumnya bernama Bunga Art Gallery. Bang Ropih mendirikan galeri tersebut karena ingin menjadi wadah bagi keluarga senimannya untuk mengeksplorasi segala macam kegiatan seni, dan galeri fisik itu sendiri untuk memudahkan akses penjualan. Rumah Seni Ropih menjadi impiannya karena sebagai seorang guru ia ingin memperkenalkan dan mengajarkan seni tidak hanya kepada anak cucunya tetapi juga masyarakat luas.
Untuk lebih lanjut, kunjungi Instagram mereka @rumahseniropih