Denpasar merupakan kota yang menjadi tempat berkumpulnya masyarakat dari seluruh Indonesia.
Lalu lintas di kota metropolitan ini menyebabkan banyak sekali jalan dan gang yang macet. Meski banyak kebisingan, banyak orang, banyak aroma, dan banyak hiruk pikuk, kota ini memiliki daya tarik dan keistimewaan yang unik.
Meskipun kemacetan bisa menjadi tantangan, dan Anda mudah tersesat, namun Anda akan menemukan diri Anda berada dalam kekacauan yang penuh warna.
Lihatlah melampaui hiruk pikukhiruk pikuk pusat kota Denpasar, dan Anda akan menemukan sesuatu yang istimewa. Mulai dari jalan bersejarah Jalan Gajah Mada (Kota Tua), keindahan patung Catur Muka dan Lapangan Puputan, pusat geografis Denpasar di Kilometer nol, dunia kain dan kafe dengan semarak bangunan bergaya kota tua di sepanjang jalan. kota tua denpasar.
Kota Tua Denpasar
Lebih dari satu abad yang lalu, Kerajaan Badung menyediakan tempat bagi etnis Tionghoa.
Pada masa penjajahan Belanda kota dan pemukiman Tionghoa direorganisasi menjadi Jalan Gajah Mada dan Jalan Kartini. Akibatnya bangunan-bangunan di sana masih berdesain kolonial, dan di bawah kendali Belanda kawasan tersebut dikembangkan menjadi fungsi komersial sehingga memunculkan Pecinan atau Kampung Cina.
Jalan pertama yang dijelajahi di Denpasar adalah Jalan Thamrin, di atasnya berdiri megah Puri Agung Pemecutan, kediaman kerajaan Raja Denpasar dan keluarga kerajaan Pemecutan. Arsitektur Puri Agung Pemecutan masih sangat terpelihara hingga saat ini.
Bagi wisatawan yang ingin berkunjung ke Puri Agung Pemecutan hanya diperbolehkan mengambil foto di depan gerbang atau halaman kediaman karena area di dalamnya tertutup untuk umum.
Setelah menelusuri Jalan Thamrin, kini kita berbelok ke kanan, menuju Jalan Gajah Mada. Jalan ini memiliki pertokoan dengan arsitektur kuno yang masih sangat terawat. Pada tahun 60an dan 70an, Jalan Gajah Mada pernah menjadi tempat nongkrong anak muda di Denpasar, dan dahulu kala terdapat Bioskop Wisnu yang merupakan bioskop pertama di
Yang kedua, Bioskop Indra, dibangun di ujung barat Jalan Gajah Mada. Selanjutnya didirikanlah Wisata Cinema di Jalan Thamrin yang masih ada hingga saat ini dan dikenal dengan nama Cineplex Denpasar.
Ada pula Pasar Kumbasari yang menjual berbagai macam seni dan kerajinan Bali, serta Pasar Badung yang belakangan ini mengalami perubahan modern. Sekarang menjadi bangunan tiga lantai yang menjual produk segar, produk hewani, dan bahkan rempah-rempah yang biasanya tidak Anda temukan di pasar tradisional lainnya.
Jalan Sulawesi dan Penjahitnya
Setelah menelusuri Jalan Thamrin dan Jalan Gajah Mada, kita langsung menuju Jalan Sulawesi yang masih berada di sekitar kawasan cagar budaya Denpasar. Bagi pecinta fashion dan tekstil, jalan ini adalah surganya karena Anda akan menemukan banyak toko kain berbagai jenis di sepanjang jalan ini.
Secara historis, Jalan Sulawesi sebagian besar dihuni oleh para pedagang Arab (bahasa sehari-hari disebut “kampung Arab” atau desa Arab) dan awalnya merupakan pusat toko furnitur kayu. Seiring berjalannya waktu, sebagian besar produksi furnitur berpindah ke kawasan Kerobokan (mungkin karena lokasi tersebut lebih sibuk dan ramah wisatawan) dan pemilik toko akhirnya mengganti produknya dengan produk tekstil/kain. Berbagai produk berbahan dasar kain bisa Anda dapatkan di sini, dengan pembelian eceran maupun grosir.
Usai berbelanja di Jalan Sulawesi, Anda bisa bersantai sejenak di kafe dan kedai kopi jaman dulu seperti Bhineka Djaja yang masih mempertahankan nuansa kota tua tersebut.
Catur Muka
Kami melanjutkan perjalanan menuju Patung Catur Muka yang merupakan Kilometer Nol di letak geografis Denpasar. Patung Catur Muka didirikan pada tahun 1973 oleh seniman ternama Bali bernama I Gusti Nyoman Lempad yang berasal dari desa Ubud. Patung ini terbuat dari batu granit dan berdiri setinggi 9 meter.
Filosofi dari patung ini adalah Patung Empat Wajah yang berdiri di atas bunga Teratai/Padma merupakan penjelmaan dari Gurunya, berupa penjelmaan Catur Gophala. Pengambilan perwujudan Wajah Empat merupakan simbol pemegang kekuasaan pemerintahan yang digambarkan pada keempat tangannya.
Puputan Badung
Di dekat patung juga terdapat Museum Bali serta Lapangan Puputan Badung yang pada tahun 1906 merupakan medan pertempuran Perang Puputan Badung ketika tentara Belanda menyerbu ibu kota Bali – Denpasar.
Kata puputan bila diterjemahkan berarti “habis-habisan”. Dan di bagian barat Lapangan Puputan terdapat sebuah monumen yang didirikan sebagai bentuk mengenang dan menghormati masyarakat Bali yang berjuang habis-habisan melawan tentara Belanda demi mempertahankan kehormatan dan harkat dan martabat masyarakat Bali. tentu saja Indonesia. Saat itu, tak kurang empat ribu orang, termasuk keluarga Kerajaan Denpasar, tewas.
Saat ini Tugu Puputan Badung menjadi pusat kegiatan rekreasi masyarakat Denpasar yang setiap sore berbondong-bondong datang ke Lapangan Puputan untuk berolahraga atau bersantai bersama keluarga.
Pura Jagatnatha
Lokasi terdekat lainnya dan patut dikunjungi adalah kuil ini, Pura Jagatnatha, dipersembahkan kepada Sanghyang Widi, dewa tertinggi dalam agama Hindu Bali. Sayangnya rusak pada masa Puputan pada tahun 1906, namun dibangun kembali pada tahun 1907. Candi utama berpusat pada penyu Bedawang yang dikelilingi oleh dua ekor ular. Gambar ini mewakili penciptaan dunia.